Agenda 

Membayangkan Dalil Kehidupan

Elvan De Porres, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bukunya yang telah terbit berjudul Menggaris dari Pinggir, kumpulan esai (Malkas Media, 2017). Penulis sekarang bergiat di Komunitas KAHE (Sastra Nian Tana) Maumere.

 

I

Ada dua dalil kehidupan yang senantiasa diagungkan seorang Martin Klaver. Pertama, tak ada yang lebih cerdas dari pikiran manusia, kecuali pikiran itu mati dibunuhnya. Kedua, tak ada yang lebih perkasa dari kelamin manusia, kecuali kelamin itu lumpuh dibuatnya.

Martin Klaver adalah seorang pemuda kurus berambut cepak yang baru saja lulus kuliah dari sebuah kampus filsafat di kotanya. Dia belum bekerja namun punya cita-cita ingin jadi orang hebat. Kau tahu, untuk mencerdaskan pikirannya, Martin Klaver akan memborong banyak bacaan bagus yang dipajang di toko buku kotanya. Dia juga akan membaca koran-koran pagi langganan ayahnya, meskipun beberapa punya perwajahan buruk. Martin Klaver rupanya merasa gagal bersematkan status mahasiswa sebab hanya mendompol literatur perkuliahan yang begitu jumud. Pikirannya membatu, kaku, dan dia menganggap dirinya tetap bodoh seperti sebelum masuk kampus.

Lalu, untuk membesarkan kelaminnya, maksudku membuat barang pusaka itu perkasa, Martin Klaver akan memburu jamu jualan ibu-ibu yang sering lewat depan rumahnya. Dia mengikuti nasihat Seto, kawan sebayanya yang belum lulus-lulus kuliah, agar minum jamu tiga kali sehari. Biar kalau saat kau kawin, kejantananmu bisa teruji dan kau akan bertahan lama karena punya energi ekstra.

II

Pertama-tama, mari abaikan saja upaya pemerkasaan kelamin. Biarkan itu jadi urusan Martin Klaver yang kukira setelah mengonsumsi jamu akan merancap terus tiap malam. Sebab, bagaimana mungkin dia kawin atau berhubungan badan sementara pacar saja tak punya. Sehingga jalan terbaik baginya untuk menguji keperkasaan kelamin adalah menjadikan diri sendiri sebagai objek. Atau, bisa juga dia diajak Seto untuk melampiaskan nafsu syahwat di rumah-rumah merah yang marak tumbuh di lingkungan mereka. Namun, Martin Klaver bukanlah lelaki murahan yang mau mengembat siapa saja. Dan, kau tahu, ide seperti itu bisa saja mencorengi dalil kedua yang ia anuti. Melumpuhkan kelamin.

Selanjutnya, data penelitian nasional maupun internasional menunjukkan minat baca yang begitu rendah di negara ini. Dan kupikir, jika bangsa ini memiliki seribu anak muda seperti Martin Klaver, pemerintah tentu saja tidak repot-repot mengatasi permasalah melek literasi yang kepalang pening. Negara hanya perlu menyediakan buku-buku bagus, menyiapkan banyak ruang terbuka, dan menggelar kegiatan baca di mana-mana.

Ini kelihatan sederhana, bukan? Dan semoga saja perhatian pemerintah untuk perkara-perkara seperti itu tak jadi ilusi yang digencet oleh ihwal kepentingan keparat. Tak perlu kubeberkan lebih jauh tentang persoalan ini. Kau hanya butuh momen bersendiri dan melakukan sejumput refleksi tentangnya.

Lagian Martin Klaver memang tak punya harapan besar untuk menjadikan dirinya panutan bagi banyak pemuda lainnya. Dia hanya ingin membaca dan membaca saja. Dan baginya, tetek-bengek permasalahan yang lebih besar daripada itu sama seperti sampah atau tinja yang patut diserap tanah dan ijuk-ijuk yang terpampang pada dinding lubang kakus. Sehingga silakan saja kau menganggapnya egois, tak punya akidah moral, atau pun lelaki malas tahu dengan nasionalisme kerdil.

Namun, begitulah. Setiap hari, hidup Martin Klaver tak terlepaspisahkan dari buku. Berbagai jenis bahan bacaan berserakan di kamarnya. Sejak bangun tidur, dia langsung mematuk diri dan melahap mereka satu per satu. Dia hanya akan keluar kamar untuk makan atau membeli rokok.

III

Apa yang dilakukan Martin Klaver adalah sebuah pengaminan terhadap yang dikatakan duta baca negeri ini; membaca bukanlah sekadar mengeja huruf, tapi juga kerja yang menaut dan mengaitkan ide. Sehingga itu butuh ruang dan waktu khusus dan tak hanya sekadar duduk-duduk kecele seperti orang melamun. Kau bisa membedakan mana perilaku melamun dan mana membaca buku. Dan jika melihat Martin Klaver, kau pasti akan gegap gempita menggugu bahwa lelaki itu patut masuk dalam daftar pemuda harapan bangsa.

Barangkali duta baca cantik yang sering aktif berkampanye lewat media sosial itu akan mencium kening Martin bila tahu bahwa di sebuah kota terpencil, jauh dari hiruk pikuk dunia kosmopolitan, ada seorang anak muda yang tekun membaca buku. Kau bisa membayangkan foto Martin yang lagi khusyuk membaca buku dipajang di akun instagram sang duta baca. Lalu, itu akan jadi viral dan Martin secepat kilat terkenal di seantero bumi pertiwi ini. Ia akan diundang ke mana-mana sebagai pembicara tentang pentingnya membaca, atau bagaimana manfaat sebuah buku dalam meningkatkan kecerdasan pikiran manusia.

IV

Namun, sebenarnya, cerita tentang Martin Klaver tak pernah ada sama sekali. Sehingga berhentilah percaya terhadap pedoman dan banjar-banjar kisah yang dituturkan sedari tadi. Pada zaman yang serbagegas dan penuh dengan ragam peristiwa cetek sekarang ini, membayangkan sosok Martin adalah sebuah nihilisme. Kau akan menampar wajahmu atau tersenyum-senyum sendiri setelah tahu bahwa Martin hanyalah figur fiktif yang kuciptakan di kepalamu.

Saat ini, Martin Klaver “asli” sebetulnya sedang asyik bergumul dengan gawai terbarunya yang penuh dengan berbagai fitur aplikasi yang mana kualitas kecerdasannya nyaris menyaingi otak manusia. Setiap hari, hidup Martin “asli” penuh dengan cokokan terhadap ponselnya itu. Dia akan selalu mengecek setiap pemberitahuan yang muncul juga bertukar pesan dengan kawan-kawan mayanya. Tak ada ritual membaca. Tak ada pemerkasaan kelamin. Tak ada dalil-dalil kehidupan. Tak ada masalah-masalah bangsa.

Pada akhirnya, kau boleh saja mengutuk Martin Klaver atau diriku yang menuturkan kisah tentangnya. Namun, kepadaku, Martin Klaver mengirim sebuah pesan singkat begini;

tdk ada dalil yg bnar dlm hdp ini. Tpi klo kw ingin mncptkan dalil khdpan, cptkanlah itu sndri. Trmask mncrdskan pkiran atw mmerksakan klamin.

 

Related posts

Leave a Comment

eleven − 9 =